Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami peningkatan jumlah pasukan siber, yaitu kelompok individu yang menggunakan media sosial dan platform daring lainnya untuk menyebarkan propaganda, menyerang lawan politik, dan memanipulasi opini publik. Salah satu kelompok yang paling kontroversial adalah Laskar89, yang memproklamirkan diri sebagai “tentara siber” yang terkenal karena taktik agresif dan retorikanya yang memecah belah.
Laskar89 pertama kali mendapat perhatian pada pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017, ketika mereka dituduh menyebarkan berita palsu dan menghasut kekerasan terhadap gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama, yang juga dikenal sebagai Ahok. Anggota kelompok tersebut menggunakan media sosial untuk menyebarkan rumor dan informasi yang salah tentang Ahok, seorang Kristen keturunan Tionghoa, dalam upaya untuk mempengaruhi opini publik terhadapnya. Kampanye ini pada akhirnya menyebabkan kekalahan Ahok dalam pemilu dan selanjutnya dia dipenjara atas tuduhan penodaan agama.
Sejak itu, Laskar89 terus beroperasi, menggunakan platform media sosial seperti Twitter dan Facebook untuk menyebarkan pesannya dan menyerang musuh-musuhnya. Anggota kelompok ini diketahui menyasar jurnalis, aktivis, dan politisi yang mereka yakini menentang agenda mereka. Mereka juga terlibat dalam doxxing, atau pengungkapan informasi pribadi kepada publik, mengenai orang-orang yang menentang mereka.
Meskipun taktiknya kontroversial, Laskar89 memiliki pengikut yang cukup besar di Indonesia, dengan ribuan pengikut di media sosial. Kelompok ini mampu menarik dukungan dengan memanfaatkan sentimen nasionalis yang berkembang di negara ini dan dengan memposisikan diri sebagai pembela Islam dan nilai-nilai Indonesia.
Namun, kebangkitan Laskar89 juga menimbulkan kekhawatiran mengenai dampak disinformasi online dan ujaran kebencian terhadap demokrasi Indonesia. Aktivitas kelompok ini dikaitkan dengan meningkatnya intoleransi agama dan polarisasi politik di negara tersebut, serta kekerasan dan pelecehan terhadap pengkritiknya.
Menanggapi kekhawatiran ini, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menindak tentara siber seperti Laskar89. Pada tahun 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan peraturan yang mewajibkan platform media sosial untuk mengambil tindakan terhadap akun yang menyebarkan ujaran kebencian dan disinformasi. Namun, para kritikus berpendapat bahwa langkah-langkah ini tidak efektif dalam mengekang pengaruh kelompok-kelompok seperti Laskar89.
Ketika Indonesia terus bergulat dengan bangkitnya pasukan siber dan disinformasi online, jelas bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk melindungi demokrasi negara ini dan memastikan bahwa semua suara dapat didengar. Kasus Laskar89 menjadi sebuah peringatan akan bahayanya membiarkan kelompok ekstremis beroperasi tanpa pengawasan di dunia digital. Pemerintah dan masyarakat sipil harus bekerja sama memerangi penyebaran ujaran kebencian dan disinformasi online serta mendorong wacana publik yang lebih inklusif dan toleran.